Pengikut

14 April, 2009

KONTRAS HIDUP.....

Seorang teman,
yang juga seorang wirausahawan yang cukup berhasil,
pernah menyampaikan kepada saya,
bahwa kejujuran tidak lagi menjadi sebuah sikap
yang diminati oleh banyak orang di jaman sekarang ini.

Pasalnya, bercermin dari diri dan hidupnya,
bertahun-tahun dia berpegang teguh
pada prinsip kejujuran di dalam menjalani usahanya,
dan hasilnya? Usahanya berkembang begitu lambat,
hasil tidak sesuai dengan upaya dan harapan,
bahkan pernah nyaris bangkrut dan gulung tikar.
Namun sejak dia mengganti prinsip dengan berpegang
pada spirit "Untung sebesar-besarnya" dengan sedikit
trik dan muslihat, kini dia menimba hasil yang luar biasa.
Dan ia merasa puas dan bangga
dengan kondisinya saat ini,
yang notabene diyakininya sebagai hasil
dari upaya kerja kerasnya untuk menemukan
"Trik dan Muslihat" tadi.

Seorang Sales sebuah perusahaan distribusi,
pernah juga sharing dengan saya mengenai sulitnya
memenangkan sebuah persaingan di dalam memasarkan
produk yang dijalaninya.
Selain karena begitu banyak cara dan metode
yang "Pat Gulipat" untuk menjadikan produknya
tembus di pasaran, urusan "Amplop Komisi",
ternyata menjadi penentu keberhasilan
bahwa produk bisa diterima Konsumen.
Sementara, Management perusahaan tempat dia bekerja,
berpegang teguh pada prinsip dan spirit bisnis
yang dianggap "Konservatif" :
"Produk diterima konsumen karena Kualitas,
bukan karena ada embel-embel lain".

Alhasil, upaya yang "Setengah Mampus",
ternyata belum cukup untuk bisa
menjadikan dirinya berhasil menjual produk.
Dan ini membuatnya menjadi bingung dan frustrasi :
Ternyata pintar menjual saja tidak cukup,
bila tidak ada Muslihat dan Amplop.
Kualitas saja juga tidak cukup
bila tidak ada dukungan embel-embel menggiurkan.

Karena frustrasi, akhirnya ia mulai mencoba
untuk mencari jurus-jurus "Muslihat" yang ampuh,
demi melanggengkan dan menyelamatkan pekerjaannya.
Soal Etika dan Moral, itu hanya sebuah ajaran yang
tidak relevan dipraktekan di tengah situasi kerjanya.

Pada kesempatan yang lain lagi,
saya sempat berjumpa dengan seorang ibu,
yang bekerja pada sebuah perusahaan besar,
yang berorientasi di bidang produk eksport.
Dengan Jabatannya yang cukup lumayan,
sebagai manager Purchasing atau pembelian,
ia mengeluh karena prosedur standart yang
ia jalankan dengan komitment tinggi,
ternyata telah menjadikan dia sosok yang dijauhi
oleh teman-teman sejawatnya.
Padahal tidak pernah sedikitpun dia melakukan
kesalahan dalam tugas pekerjaannya.
Bahkan lebih daripada itu,
tidak sepeserpun keuntungan yang dia "Sabet"
dari pekerjaan dan jabatannya,
meski sebetulnya itu sangat dimungkinkan.


Kebingungannya semakin menjadi-jadi,
manakala dia mengetahui bahwa "Sikap Lurus"
di dalam pekerjaannyalah yang menjadi penyebab
mengapa dirinya dijauhi semua orang.
Akhirnya dia mengambil keputusan
untuk mulai sedikit bertoleransi dengan situasi
yang serba fleksible dan sedikit "Gelap",
bila itu berkaitan dengan peluang mendapatkan
keuntungan lebih yang bisa dibagikan dan dinikmati,
bersama rekan-rekan sejawat.

Lain lagi cerita seorang mahasiswa,
yang sempat bertukar pikiran soal skripsinya
yang sudah satu tahun lebih tidak kunjung rampung.
Persoalannya bukan pada skripsi yang belum selesai,
tetapi dosen pembimbing yang begitu sulit ditemui,
karena alasan banyaknya kesibukan di luar kampus,
entah itu undangan ceramah, mengikuti seminar,
bahkan mungkin juga ada pekerjaan proyek
yang lebih memberi keuntungan besar ketimbang
mengandalkan honor ngajar yang begitu minim.

Akhirnya sang mahasiswa menjadi putus asa,
mengingat hasil skripsinya yang terus menggantung,
tanpa kejelasan kapan bisa selesai dikoreksi.
Ujung-ujungnya, idealisme cita-cita meraih gelar
sarjana S1 dan mendapat pekerjaan dengan segera,
akhirnya menjadi pupus dan pudar.
Padahal tidak sedikit biaya yang telah dikeluarkan
untuk bisa mencapai tahapan skripsi ini.

Dan kini sang mahasiswa lebih banyak
menghabiskan waktunya dengan
nongkrong di sana, nangkring di sini,
dan sibuk dengan segala hal yang bersifat "Having Fun".
Soal skripsi ? Yah tunggu saja sampai sang dosen
tidak lagi sibuk dan sempat mengurus profesinya sebagai
dosen, pengajar, pendidik dan pendamping skripsi,
yang tidak ada duitnya itu.
Lalu, niat untuk segera diwisuda dan mendapat pekerjaan??
Emang Gua Pikirin alias EGP...!!!

Dengan cerita-cerita pengalaman di atas,
saya mau menyampaikan bahwa :
Ternyata bukan hanya hidup yang sulit dipahami,
cara berpikir manusia pun pada kenyataannya,
juga sangat sulit dimengerti...!
Sebagian dari hal ini tampak dari kisah-kisah di atas :
Begitu mudahnya sebuah prinsip dan idealisme bergeser,
dan begitu murahnya harga dari sebuah Toleransi,
sehingga segala hal bisa dikompromikan.
Bahkan urusan masa depan hidup pun
bisa begitu sepele diartikan dan direspon...

Dalam sebuah forum diskusi,
saya pernah menyampaikan bahwa :
kita manusia selalu mempunyai kecenderungan kuat
untuk menjadi pribadi-pribadi yang begitu mudah
bertoleransi dengan sebuah "Penyimpangan".
Dalam situasi dan kondisi hidup
yang terdesak dan terjepit,
manusia bukan saja bisa menjadi sangat kreatif
dengan hidup dan upayanya,
tetapi sekaligus juga bisa menjadi sangat destruktif
terhadap nilai-nilai kehidupan,
bahkan juga tidak peduli terhadap
nilai-nilai Moral dan Kebenaran yang dianutnya.

Dengan mengatasnamakan :
"Keterjepitan" dan "Keterpaksaan",
lalu semua langkah dan tindakan,
seakan menjadi wajar-wajar saja,
bahkan cenderung menjadi "Permisif" alias
"Boleh-boleh" saja meski berkontras dengan
Moral dan Etika, bahkan Nurani sekalipun.

Dengan belajar dari banyak pengalaman orang lain,
saya melihat bahwa dunia kita saat ini adalah
dunia yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak lagi
terlalu peduli dengan apa yang saya namakan :
"Tatanan Nurani ".

Urusan kebenaran, kebaikan, nilai hidup,
bahkan moralitas dan etika, bukan lagi menjadi
sebuah kualitas dan keutamaan hidup yang mutlak
harus dimiliki dan terpancar secara praktis
di dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau pun ada, sering itu hanya bersifat formalitas.
Bahkan lebih dari itu,
sering hanya menjadi sebuah motto tanpa jiwa,
karena sesungguhnya, semua itu tak lagi pernah
mendapat tempat tertinggi di dalam praksis kehidupan,
apalagi bila itu berhubungan dengan situasi :
"Keterjepitan dan Keterpaksaan".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar